Zaman globalisasi saat ini memungkinkan berbagai jenis
komoditas masuk pasar dunia, tak terkecuali komoditas kebudayaan seperti
buku. Di Indonesia sendiri, ribuan buku karya dan tentang negeri lain masuk dan dikonsumsi
jutaan penduduk. Sebaliknya, belum banyak buku karya anak negeri
ataupun tentang Indonesia yang mengisi rak-rak buku warga dunia.
Salah satu penerbit yang berupaya membawa Indonesia masuk ke dalam
perbincangan komunitas dunia adalah Equinox. Didirikan tahun 1999 oleh
Mark Hanusz, seorang warga Amerika Serikat, yang menjadi pemilik
sekaligus managing editor, Equinox menerbitkan puluhan buku karya
penulis asing tentang Indonesia ataupun beberapa karya penulis dalam
negeri. Tema-tema buku sangat bervariasi, mulai dari tema akademik,
seperti analisis ekonomi, politik, ilmu sosial di Indonesia, demografi,
militer, kebijakan luar negeri Indonesia, hingga tema sastra, biografi,
sejarah organisasi serta produk kebudayaan Indonesia, seperti rokok
keretek, kopi, ataupun seluk-beluk kehidupan warga Jakarta.
Untuk bisa masuk pergaulan global, Equinox menerbitkan karya
orang Indonesia dalam bahasa Inggris, selain puluhan buku yang memang
ditulis dalam bahasa Inggris. Seluruh buku terbitannya juga dijual lewat
toko buku terbesar dunia, yaitu situs www.amazon.com, selain beberapa
distributor dunia dan institusi akademik, seperti Institute of South East Asian Studies (ISEAS). Ragam tema dan isi yang menarik membuat cukup banyak di antara buku-buku terbitannya menjadi pembicaraan buletin, koran, dan majalah
asing, seperti New York Times, Asia Observer, South China Morning Post,
Straits Times, Far Eastern Economic Review, Time Asia, The Asian Review
of Books, dan International Institute for Asian Studies.
Namun, Equinox tetap menyediakan beberapa judul yang diterbitkan
dalam bahasa Inggris ataupun Indonesia, agar lebih banyak warga
Indonesia ikut membacanya.
Dari saham ke buku
Awalnya adalah tahun 1998, ketika Indonesia dihantam krisis
ekonomi. Saat itu Mark Hanusz telah bekerja di Swiss Bank Corporation
(SBC) selama tujuh tahun dan dua
tahun ditugaskan di Jakarta menangani penjualan saham. Krisis
mengakibatkan perdagangan saham sepi, tak ada orang mau menjual atau
membeli saham. Alih-alih kembali ke tanah airnya, Mark Hanusz memutuskan
tetap tinggal di Indonesia. Ia pun lalu melakukan riset tentang keretek dan menuliskannya dalam bentuk buku.
”Sudah sejak lama saya ingin sekali menulis buku. Saya kira itu
keinginan semua orang. It’s human nature,” ceritanya. Ia pun memulai
riset tentang rokok keretek yang membawanya ke berbagai tempat di
Indonesia bahkan hingga ke Belanda, terutama Tropen Museum di Amsterdam dan Leiden. ”Waktu itu banyak bisnis mati di sini, tetapi industri rokok tidak. Ia justru paling laku. Dan keretek
itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya
ada di sini, khas Indonesia,” papar laki-laki kelahiran 26 Juli 1976
ini.
Totalitas menulis buku dibuktikan Mark Hanusz dengan bekerja
full-time dari pagi hingga malam sejak konsep hingga akhir penulisan
selama 18 bulan. Ia mendatangi keluarga Nitisemito, pelopor industri
rokok keretek Indonesia, untuk menuliskan sejarah awal produksi massal
keretek di Kudus, Jawa Tengah. Selain itu, ia juga berkeliling ke 60
perusahaan rokok yang ada di Jawa Tengah dan Jawa
Timur serta pergi ke Sulawesi untuk meneliti cengkeh yang digunakan di
dalam produksi keretek. ”Saya pegang semua pekerjaan saat itu,
wawancara, mencari foto-foto, menulis, mengedit, dan membiayai semua proses hingga penerbitan. Tidak ada sponsor, tidak ada penerbit. I was crazy at that time,” urainya lagi.
Penerbitan buku tentang keretek itulah yang menjadi awal mula berdirinya Equinox Publishing. Buku berjudul Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes
diluncurkan pada 21 Maret 2000 di Jakarta yang dimeriahkan dengan
peragaan pembuatan rokok kelobot, rokok dengan pembungkus daun jagung, dan sekaligus
sebagai pengumuman tidak resmi tentang Equinox. ”Sebetulnya saya tidak
pandai menulis. Ada dua buku lagi yang saya tulis bersama teman setelah
Kretek, tetapi tidak sebagus Kretek. Namun, saya kira saya lebih pandai
mengelola bisnis buku daripada menulis buku,” jelas Mark Hanusz dengan
lugas.
Tentang Indonesia
Selama delapan tahun, Equinox telah menerbitkan 74 judul buku
yang menjabarkan berbagai aspek tentang Indonesia. Terbagi atas kategori
fiksi, nonfiksi, illustrated books, buku-buku akademik, dan seri klasik Indonesia, Equinox menampilkan ragam persoalan dengan berbagai sudut pandang, yang ditulis oleh orang Indonesia ataupun asing.
Beberapa buku nonfiksi yang ditulis oleh Ken Conboy, seorang
konsultan manajemen keamanan yang telah tinggal di Indonesia sejak 1992,
misalnya, memaparkan sejarah serta seluk-beluk lembaga militer
Indonesia, baik pasukan elite di ke-empat angkatan, Kopassus, ataupun
lembaga intelijen negara. Buku lainnya yang ditulis oleh Wimar Witoelar
mengungkap hal-hal yang terjadi saat ia menjadi Juru Bicara Presiden
Abdurrahman Wahid.
Pada aspek lain, terbit juga buku tentang pembunuhan wartawan
Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, berjudul The Invisible Palace yang
ditulis Jose Manuel Tesoro, seorang koresponden majalah Asiaweek. Buku
ini mendapat predikat buku terkemuka dalam Kiriyama Award pada tahun
2005, sebuah institusi yang mendorong terbitnya karya-karya untuk
menumbuhkan dialog kebudayaan antarbangsa di kawasan Pasifik dan Asia Selatan.
Ulasan cukup banyak diberikan kepada buku Equinox lainnya yang berjudul Jakarta Inside Out, karya Daniel Ziv, mantan Pemimpin Redaksi djakarta!. ”Berbeda dengan buku-buku tentang wisata untuk para turis, Daniel
Ziv menyajikan aspek yang tidak klise tentang sebuah kota dengan bahasa
populer, foto-foto dengan sudut pengambilan gambar yang tidak biasa,
tetapi tetap berbasis pada pengamatan yang mendalam,” tulis majalah Time
Asia. Sementara itu, Far Eastern Economic Review menyebut buku Ziv,
”Berhasil memadukan gambaran tentang karakter sebuah Ibu Kota negara
dengan format baru gaya penulisan pop-art.”
Gambaran tentang Indonesia dilengkapi Equinox dengan penerbitan
kembali buku-buku yang tidak lagi dicetak, tetapi memiliki arti penting
dalam pembentukan pemahaman tentang Indonesia. Terdapat 16 judul yang
telah terbit dan dikategorikan
sebagai Classics Indonesia. Sebagian besar di antaranya pernah
diterbitkan oleh Cornell University, AS, seperti buku Language and Power
dari Benedict Anderson yang pernah terbit tahun 1990, Army and Politics
buah pena Harold Crouch dan terbit
pertama kali tahun 1978 serta pernah dilarang beredar di sini, ataupun
buku Villages in Indonesia karya Koentjaraningrat yang pernah terbit
tahun 1967.
Dalam peluncuran tujuh judul seri Classics Indonesia pada Maret
2007, salah satu buku, yaitu The Rise of Indonesian Communism karya
Ruth T McVey, dicekal oleh Bea dan Cukai. ”Buku itu dicetak di luar negeri. Ketika dibawa masuk ke Indonesia, ditahan oleh Bea dan Cukai. Kurang jelas alasannya. Sampai saat ini tidak ada yang memberi tahu saya kenapa buku itu tidak bisa keluar dari Bea dan Cukai,” jelas Mark Hanusz.
Ketika diajukan kemungkinan komunisme sebagai alasan
pencekalan, ia menjawab sambil menunjukkan keheranannya, ”Buku itu
adalah buku sejarah, bukan buku yang mempromosikan ideologi komunisme. Dan semua
orang sudah tahu bahwa memang dahulu di Indonesia ada partai komunis
yang besar sekali. Pada saat peluncuran itu Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh mengatakan bahwa buku itu boleh beredar di sini.”
Margin kecil
Sebagai penerbit berbahasa Inggris yang mengkhususkan diri pada
buku-buku mengenai Indonesia, Equinox mendistribusikan sebagian besar
buku-bukunya keluar Indonesia. Harga banderolnya pun dipasang sesuai
standar pasar dunia, mulai dari 8 dollar AS hingga 75 dollar AS.
”Penerbit buku Indonesia yang agresif sekali adalah ISEAS, sementara
Oxford Asia sudah tutup dan penerbit
lainnya tidak banyak,” jelasnya lagi.
Dengan kata lain, di dalam pasar
buku Indonesia di dunia, Equinox hampir-hampir tidak memiliki saingan.
Hingga kini buku Equinox yang cukup banyak terjual adalah novel
karya Pramoedya Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Tales from Djakarta sekitar 4.000 eksemplar. Buku lainnya, Jakarta
Inside Out, terjual 3.000 eksemplar dalam kurun waktu empat bulan.
”Awalnya kami mencetak di luar negeri, yaitu di AS dan Inggris. Sekarang semua buku kami cetak di sini dan Equinox
sudah mengeluarkan banyak buku. Jadi bisnis ini sudah lumayan,”
paparnya tanpa bersedia menyebutkan omzet yang didapat setiap tahun.
Meskipun demikian, Equinox memiliki komitmen lain, yaitu turut
melestarikan lingkungan hidup, terutama hutan Indonesia. Oleh karena
itu, sejak awal penerbitan buku seri Classics Indonesia, Equinox
menggunakan kertas daur ulang yang diimpor dari Denmark. ”Ongkosnya
memang lebih mahal sehingga margin profit kecil, but it’s good for the
environment,” ujarnya.
Untuk menyiasati ongkos yang mahal tersebut, Equinox menerapkan
sistem print on demand (POD), yaitu mencetak sesuai permintaan. Hal ini
akan menghindari buku dengan ongkos produksi lebih mahal menumpuk di gudang.
Hingga saat ini buku Java in A Time of Revolution karya Ben Anderson
merupakan buku dari kategori ini yang paling banyak diminati.
Sumber: indonesiabuku.com